Merasa Hak Konstitusional Terhalangi, MK Kabulkan Permohonan Hardizal S,Sos M,H



PBNEW, SUNGAI PENUH. Hardizal S,Sos M,H ketua DPC PDIP sungai penuh pada saat pemilihan walikota dan wakil walikota 2020 Berpasangan dengan Ahmadi Zubir, diusung dari partai PPP, PDIP,dan BERKARYA. Belum sempat untuk mendaftarkan diri di KPU pasangan Ahmadi Zubir dan Hardizal, berbagai cara lawan politik untuk menggagalkan Hardizal agar tidak bisa maju dalam pilwako. 

Lawan politik telah mengungkit masa lalu Hardizal pernah tersandung kriminal seperti yang tercantum pada UU 35 Tahun 1997 tentang Psikotropika. ( Narkoba) Sehingga Partai pengusung menarik diri dan mencabut rekomendasi tidak mengusung Hardizal yang berpasangan dengan Ahmadi Zubir. 

Para saat pendaftaran Partai Berkarya mencabut rekomendasinya dengan alasan Hardizal memiliki catatan kriminal sebagai pengguna Psikotropika yang didasarkan pada Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK)  menerangkan bahwa yang bersangkutan terlibat dalam kegiatan kriminal seperti yang tercantum pada UU 35 Tahun 1997 tentang Psikotropika. 

Merasa telah terzalimi serta menghalangi hak konstitusional sebagai warga negara Indonesia, Hardizal  didampingi  4  kuasa hukum Harli, S.H, M.T., M.A,  Irwan Gustaf Lalegit, S.H; Wolfgang A. W. Yani, S.H, M.IP; dan Ignasius Watu Mudja, S.Sos, S.H, M.H; mengajukan permohonan ke MK tertanggal 14 Desember 2021. 

Hardizal Mengatakan" Benar, saya mengajukan permohonan  ke MK pada tanggal tanggal 14 Desember 2021 terkait masa lalu saya seorang Narapidana yang telah menjalani hukuman  kasus Narkoba pada saat Pilwako di ungkit  kembali.




Demi harga diri saya dan nama baik serta merasa telah menghalangi hak konstitusional di mata masyarakat sungai penuh, saya mengajukan permohonan ke MK. Didampingi pengacara saya  Alhamdulillah  permohonan saya di kabulkan MK melalui sidang zoom Meting pada hari selass tanggal 31 Mei 2022" ujar Hardizal 

Selanjutnya Hardizal mengatakan" dimana dalam sidang didampingi Empat pengacara saya, Hari selasa 31/5 pukul 10:21 WIB, MK telah memberikan putusan atas *perkara Nomor 2/PUU-XX/2022 perihal Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).*

Mahkamah berpendapat dapat menerima dalil Pemohon sepanjang yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, serta Petitum Pemohon yang meminta untuk menyatakan inkonstitusional secara bersyarat. Mahkamah berkesimpulan permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Pada persidangan dengan agenda putusan yang dipimpin oleh *Yang Mulia Hakim Konstitusi Aswanto*, Amar Putusannya menyatakan, Mengadili:
*1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;*
*2. Menyatakan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “dikecualikan bagi pelaku perbuatan tercela yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan telah selesai menjalani masa pidananya, serta secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana”;*
*3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;*
*4. Menolak permohonan Pemohon selain dan selebihnya.*

Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya juga menyatakan bahwa terhadap calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana dikarenakan melakukan perbuatan yang diatur dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada diberi kesempatan untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah dan pertimbangan pilihan diserahkan kepada para pemilihnya/masyarakat, namun hal tersebut tidak boleh menghilangkan informasi tentang jati diri masing-masing calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Oleh karena itu, sebagaimana juga diberlakukan untuk ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu untuk memberikan informasi tentang jati diri secara lengkap terhadap masing-masing calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, maka dalam memaknai Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada ini pun juga diwajibkan kepada calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang pernah melakukan perbuatan tercela yang telah memperoleh putusan pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana, untuk secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, sebagaimana juga telah dipersyaratkan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada, yang telah dimaknai oleh Putusan Mahakamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 tersebut.

Mahkamah juga memerintahkan kepada penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah termasuk dalam hal ini pihak Kepolisian yang berwenang mengeluarkan SKCK, untuk segera memformulasikan bentuk/format SKCK sebagaimana dikehendaki dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada dengan menyesuaikan semangat yang ada dalam putusan a quo. 

Sekalipun syarat melampirkan SKCK sebagaimana yang dipersyaratkan dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada tetap diberlakukan kepada setiap calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, namun apapun model ataupun format SKCK dimaksud, hal tersebut tidak boleh menjadi penghalang bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bersangkutan untuk dapat ikut kontestasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sekalipun yang bersangkutan telah melakukan perbuatan tercela sepanjang yang bersangkutan telah memperoleh putusan pengadilan dan telah selesai menjalani masa pidana, serta sepanjang syarat-syarat lainnya terpenuhi. Dengan kata lain, bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah melakukan perbuatan yang melanggar Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada dan telah dijatuhi pidana oleh pengadilan serta telah selesai menjalani masa pidana, maka harus dikecualikan untuk tidak dikenakan syarat SKCK yang masih dikaitkan dengan perbuatannya tersebut." Tutup Hardizal 





Post a Comment

Previous Post Next Post
Baca selengkapnya: