Mengajar di Tengah Rimba: Perjuangan Dua Guru Swasta Mencerdaskan Suku Anak Dalam di Pelosok Merangin



PORTALBUANA.ASIA, MERANGIN – Di tengah gempuran kemajuan zaman dan hiruk-pikuk kota, masih tersisa kisah perjuangan sunyi dari dua sosok pahlawan tanpa tanda jasa yang memilih jalan terjal demi masa depan generasi terpinggirkan. Adalah Warsiti dan Fitri, dua guru swasta yang dengan sepenuh hati mengabdikan diri untuk mencerdaskan anak-anak Suku Anak Dalam (SAD) yang hidup jauh di pelosok hutan Desa Bukit Beringin, Kecamatan Bangko Barat, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.

Setiap hari, mereka menempuh perjalanan puluhan kilometer melewati jalan berbatu, medan terjal, hingga harus berjalan kaki menembus lebatnya hutan dan hamparan kebun sawit. Semua itu mereka lalui demi satu misi: membawa cahaya ilmu pengetahuan ke tengah kegelapan keterisolasian.

Dengan sarana seadanya—tikar plastik sebagai alas, beberapa buku usang sebagai bekal, dan langit terbuka sebagai atap—Warsiti dan Fitri menggelar kelas darurat di tengah alam terbuka. Tanpa tembok, tanpa papan tulis, dan tanpa kursi, proses belajar-mengajar tetap berjalan. Anak-anak rimba duduk bersila di atas tanah dan rerumputan, menyimak dengan mata penuh semangat, seolah setiap huruf dan angka yang mereka pelajari adalah jendela baru menuju masa depan.

Tak hanya anak-anak, orang dewasa dari komunitas SAD pun ikut larut dalam antusiasme belajar. Mereka menyambut kedatangan dua guru tersebut layaknya keluarga yang kembali pulang. Dalam keheningan hutan, suara Warsiti dan Fitri membacakan huruf-huruf dasar menjadi nyanyian harapan bagi komunitas yang selama ini terlupakan.

“Bagi kami, ini bukan sekadar mengajar. Kami datang membawa semangat dan harapan,” ungkap Warsiti sambil tersenyum, saat menggelar tikar untuk memulai pelajaran di bawah rindangnya pohon sawit.

Karena pola hidup nomaden yang dijalani SAD, Warsiti dan Fitri tak jarang harus mencari murid mereka dari satu titik hutan ke titik lain. Demi memastikan proses belajar tak terputus, mereka membawa bekal makanan untuk dibagi bersama, agar murid tetap fokus belajar meski perut kosong.

Namun di balik dedikasi luar biasa ini, perjuangan mereka belum sepenuhnya mendapat perhatian pemerintah. Minimnya sarana, prasarana, serta akses jalan menjadi tantangan harian yang tak kunjung teratasi. Perjuangan mereka seperti berteriak di tengah hening, menanti telinga kebijakan yang sudi mendengar.

Sudah saatnya pemerintah daerah hadir dan memberikan perhatian serius terhadap pendidikan komunitas terpencil seperti Suku Anak Dalam. Karena pendidikan adalah hak seluruh anak bangsa, tanpa terkecuali, termasuk mereka yang tinggal di balik rimbunnya hutan.

Warsiti dan Fitri telah menunjukkan bahwa pengabdian sejati tidak butuh panggung megah atau sorotan kamera. Cukup dengan ketulusan dan tekad, mereka mampu menyalakan cahaya harapan dari tengah rimba yang sunyi—sebuah cahaya yang mungkin akan menyinari masa depan generasi SAD di pelosok Merangin.


Post a Comment

Previous Post Next Post
Baca selengkapnya: