PORTALBUANA.ASIA SUNGAI PENUH - Pelaksanaan proyek Rehabilitasi Pasar Sungai Penuh yang menelan anggaran puluhan miliar kini menjadi sorotan publik. Proyek prestisius dengan skema kontrak tahun jamak (multi years) tersebut dikerjakan oleh PT Cimidemedang Sakti Kontraktor sebagai pemenang tender resmi.
Namun di tengah progres pembangunan, muncul dugaan kuat adanya pelanggaran aturan dalam pelaksanaan proyek tersebut. Salah satu isu yang mencuat ke permukaan adalah dugaan penjualan tanah hasil galian pondasi proyek oleh oknum yang berada di lokasi pekerjaan. Dugaan ini menuai beragam tanggapan dan kritik dari berbagai pihak, khususnya lembaga swadaya masyarakat.
Ketua LSM Semut Merah, Aldi Agnopiandi, dengan tegas mempertanyakan dasar hukum atas dugaan penjualan tanah galian proyek pemerintah tersebut. Menurutnya, praktik semacam itu patut dipertanyakan dan berpotensi melanggar ketentuan perundang-undangan.
“Pertanyaannya jelas, aturan dari mana tanah galian proyek pemerintah itu bisa diperjualbelikan?” tegas Aldi kepada wartawan.
Lebih lanjut, Aldi memaparkan bahwa tanah dan material galian yang berasal dari proyek pemerintah memiliki status hukum yang jelas dan tidak boleh dikelola secara sembarangan. Ia menjelaskan bahwa material galian seperti tanah urug, pasir, maupun batu umumnya termasuk dalam kategori bahan galian golongan C, yang pengelolaannya diatur secara ketat oleh negara.
“Dasar hukum yang melarang penjualan tanah galian proyek pemerintah berkaitan erat dengan status tanah tersebut sebagai aset negara atau aset daerah. Apalagi proyek ini dibiayai dari APBN atau APBD, sehingga seluruh material yang dihasilkan otomatis menjadi bagian dari Barang Milik Negara (BMN) atau Barang Milik Daerah (BMD),” jelasnya.
Aldi menambahkan, setiap bentuk pemindahtanganan aset negara atau daerah wajib melalui mekanisme dan prosedur resmi sesuai regulasi pengelolaan keuangan dan aset negara. Penjualan tanpa izin oleh individu atau pihak yang tidak berwenang merupakan perbuatan melawan hukum.
Ia juga menguraikan ketentuan terkait pengadaan tanah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, beserta aturan turunannya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2023. Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa tanah yang telah dibebaskan untuk kepentingan proyek pemerintah sepenuhnya menjadi milik pemerintah dan pengelolaannya tunduk pada hukum administrasi negara.
“Artinya, tidak ada celah hukum yang membolehkan tanah hasil galian proyek pemerintah dijual bebas ke pihak lain,” tegasnya.
Tak hanya itu, Aldi juga mengingatkan adanya ancaman pidana bagi pihak-pihak yang terbukti melakukan penjualan tanah atau material galian milik negara tanpa hak. Menurutnya, perbuatan tersebut dapat dijerat dengan Pasal 385 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait penyerobotan tanah atau pasal lain yang berkaitan dengan penggelapan aset negara.
Selain itu, ia menyinggung prinsip pengelolaan “tanah disposal”, yakni tanah sisa hasil proyek yang tidak lagi digunakan. Tanah jenis ini, kata Aldi, tidak boleh diperjualbelikan secara bebas, melainkan wajib dikelola melalui mekanisme resmi pengelolaan aset negara atau daerah sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
“Secara ringkas, larangan penjualan tanah galian proyek pemerintah didasari oleh status kepemilikan aset oleh negara serta kewajiban memiliki izin resmi untuk setiap aktivitas pengambilan atau pemanfaatan material galian,” pungkas Aldi.
Hingga berita ini diturunkan, pihak pelaksana proyek maupun instansi terkait belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan tersebut. Publik pun berharap aparat penegak hukum dan instansi berwenang dapat menindaklanjuti persoalan ini secara transparan demi menjaga akuntabilitas penggunaan anggaran negara. (Bjf)



