Oleh: Kurniadi Aris, S.H., M.H., M.M.
Advokat / Pengacara, Dosen
PORTALBUANA.ASIA, OPINI PUBLIK Sengketa pertanahan merupakan persoalan klasik yang terus berulang di tengah kehidupan masyarakat. Perselisihan mengenai batas tanah, kepemilikan, maupun penguasaan lahan, baik antarindividu maupun antara individu dengan persekutuan adat, masih sering terjadi. Salah satu bentuk yang paling kompleks adalah sengketa atas tanah ulayat, yaitu tanah milik bersama suatu persekutuan adat.
Fenomena ini tak lepas dari lemahnya kepastian hukum serta belum kuatnya perlindungan hukum tertulis terhadap hak ulayat. Meskipun hukum adat memiliki kekuatan tersendiri, namun pada hakikatnya hukum adat bersifat tidak tertulis (lex non scripta). Akibatnya, dalam praktik, pengakuan dan perlindungan terhadap tanah ulayat seringkali tidak memiliki dasar hukum formal yang kokoh.
Jika menilik dari sisi hukum positif, sebenarnya konstitusi telah memberikan dasar yang jelas. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 18B ayat (2), menegaskan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pengakuan tersebut kemudian dipertegas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, yang menegaskan bahwa hak ulayat dan tanah adat memiliki kedudukan hukum yang diakui negara. Dengan demikian, segala peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 semestinya tunduk dan selaras dengan prinsip tersebut. Bila ada aturan yang bertentangan, maka secara hukum prinsip lex superior derogat legi inferiori berlaku—peraturan yang lebih tinggi derajatnya mengesampingkan yang lebih rendah.
Namun demikian, persoalan di lapangan tetap muncul karena sebagian besar tanah ulayat belum disertifikasi atau bahkan tidak memiliki alas hak tertulis sama sekali. Kondisi ini menyebabkan penguasaan tanah ulayat kerap dilakukan berdasarkan izin atau kesepakatan antaranggota persekutuan adat. Tidak jarang pula tanah ulayat dialihkan kepada pihak lain oleh anggota masyarakat adat sendiri, tanpa prosedur hukum yang jelas.
Kondisi semacam ini juga ditemukan di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh, di mana penguasaan tanah adat telah berlangsung turun-temurun selama ratusan tahun. Karena tidak memiliki dokumen legal formal, maka tanah tersebut rawan disengketakan, baik antarwarga adat maupun dengan pihak luar.
Melihat fenomena tersebut, perlindungan hukum terhadap tanah ulayat menjadi sangat mendesak. Pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten maupun kota, perlu mengambil langkah konkret dengan menerbitkan regulasi daerah. Langkah strategis yang dapat ditempuh antara lain:
1. Menyusun Peraturan Daerah (Perda) tentang penetapan zona wilayah tanah adat (tanah ulayat);
2. Menerbitkan Surat Keputusan (SK) Bupati Kerinci dan Wali Kota Sungai Penuh yang secara eksplisit mengakui dan melindungi hak ulayat masyarakat adat;
3. Menyusun peta wilayah hukum adat sebagai dasar administratif pengakuan hukum atas tanah ulayat.
Dengan adanya payung hukum yang kuat, maka keberadaan tanah ulayat di Kerinci dan Sungai Penuh dapat terlindungi dari praktik-praktik peralihan hak yang tidak sah. Selain itu, masyarakat adat juga akan memperoleh kepastian hukum dalam mengelola dan memanfaatkan tanah ulayat untuk kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya mereka tanpa rasa khawatir akan kehilangan haknya.
Perlindungan terhadap tanah ulayat bukan hanya soal kepemilikan, melainkan juga upaya menjaga identitas dan martabat masyarakat adat. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah daerah bertindak progresif dengan menghadirkan regulasi yang berpihak pada kepentingan masyarakat adat dan selaras dengan amanat konstitusi.


