PORTALBUANA.ASIA, KERINCI – Polemik penetapan status tersangka terhadap anggota DPRD Provinsi Jambi, Amrizal, dalam perkara dugaan pemalsuan dokumen ijazah, terus menyita perhatian publik. Perkembangan kasus ini memunculkan beragam respons di tengah masyarakat, mulai dari dukungan hingga kritik tajam. Namun demikian, sejumlah pihak mengingatkan agar publik tetap bersikap objektif, rasional, dan berlandaskan hukum, serta tidak terjebak pada opini sepihak yang berpotensi menyesatkan dan mencederai prinsip demokrasi.
Secara yuridis, penetapan seseorang sebagai tersangka bukanlah bukti atas kesalahan yang bersangkutan. Status tersebut merupakan bagian dari proses hukum yang masih berjalan dan harus diuji secara terbuka di pengadilan. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman secara tegas mengatur asas praduga tak bersalah, yang mewajibkan setiap warga negara dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Fakta hukum lain yang tak dapat diabaikan adalah bahwa Amrizal telah melewati seluruh tahapan verifikasi administrasi dan faktual dalam proses Pemilu 2024. Verifikasi tersebut dilakukan secara berjenjang dan ketat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta diawasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan KPU yang berlaku. Dengan lolosnya tahapan tersebut, secara hukum administrasi kepemiluan, dokumen yang diajukan Amrizal telah dinyatakan sah dan memenuhi persyaratan pencalonan.
Selain itu, mencuatnya kembali perkara dengan objek yang sama, yang sebelumnya dikabarkan telah dihentikan melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), menimbulkan pertanyaan serius terkait asas kepastian hukum. Dalam hukum pidana dikenal prinsip ne bis in idem, yakni seseorang tidak dapat diproses hukum dua kali atas perkara, peristiwa, dan objek yang sama. Jika benar SP3 telah diterbitkan sebelumnya untuk objek ijazah yang sama, maka publik menilai perlu ada penjelasan terbuka dari aparat penegak hukum agar tidak menimbulkan kesan kriminalisasi maupun penggunaan hukum sebagai alat tekanan politik.
Di tengah dinamika yang berkembang, dukungan masyarakat terhadap Amrizal masih terlihat kuat, khususnya dari konstituen di daerah pemilihannya. Banyak pihak menilai bahwa persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari rivalitas politik pasca-pemilu. Rekam jejak elektoral Amrizal yang konsisten serta keberhasilannya meraih kepercayaan publik dan menumbangkan sejumlah incumbent menjadi faktor yang memunculkan spekulasi adanya muatan politis dalam kasus ini.
Dasar Hukum dan Argumentasi Yuridis
1. Asas Praduga Tak Bersalah
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan ke pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian, status tersangka tidak dapat dijadikan dasar untuk menghakimi atau membangun vonis di ruang publik.
2. Legalitas Dokumen dalam Proses Pemilu
Pasal 240 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan bahwa persyaratan calon legislatif dinyatakan sah setelah melalui proses verifikasi oleh KPU, baik secara administratif maupun faktual. Amrizal telah dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU dan Bawaslu, sehingga dalam konteks hukum administrasi pemilu, dokumen yang digunakan dinilai sah dan legal.
3. Asas Ne Bis In Idem
Pasal 76 KUHP mengatur bahwa seseorang tidak dapat diadili dua kali atas perkara yang sama apabila telah ada putusan atau penghentian penyidikan sebelumnya. Jika benar perkara ijazah ini pernah dihentikan melalui SP3, maka muncul pertanyaan mendasar mengenai kepastian hukum dan konsistensi penegakan hukum.
4. Tanggung Jawab Verifikasi Berjenjang
Berdasarkan Peraturan KPU tentang pencalonan anggota DPRD, tanggung jawab verifikasi dokumen tidak hanya dibebankan kepada calon, melainkan juga melibatkan partai politik pengusung, KPU kabupaten/kota, KPU provinsi, serta pengawasan dari Bawaslu. Oleh karena itu, persoalan keabsahan dokumen tidak bisa dilepaskan dari peran lembaga-lembaga tersebut.
Tokoh masyarakat di Kerinci menegaskan bahwa rakyat tidak boleh digiring untuk menghakimi seseorang sebelum proses hukum benar-benar tuntas. Menurut mereka, menjaga marwah demokrasi berarti menghormati hukum dan prosedur yang berlaku, bukan membangun vonis melalui opini publik atau tekanan politik.
Publik kini menantikan sikap objektif dan profesional dari seluruh pihak terkait, termasuk aparat penegak hukum, KPU, Bawaslu, serta partai politik, agar kasus ini ditangani secara transparan, adil, dan bebas dari kepentingan apa pun. Sebagai wakil rakyat yang membawa mandat ribuan suara masyarakat, Amrizal berhak memperoleh kepastian hukum dan perlakuan yang adil. Dalam konteks ini, keadilan, kepastian hukum, serta akal sehat publik harus tetap menjadi panglima.
WN



